Jumat, 12 Februari 2010

Hukum merayakan Valentine


Hari ‘kasih sayang’ yang dirayakan oleh orang-orang Barat pada tahun-tahun terakhir yang disebut “Valentine’s Day” amat populer dan merebak di berbagai pelosok Indonesia. Terlebih lagi di saat menjelang bulan Februari di mana banyak kita temui simbol-simbol atau iklan-iklan tidak syar’i demi mewujudkan dan mengekspos (mempromosikan) hari Valentine. Berbagai tempat hiburan bermula dari diskotik, hotel-hotel, organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok kecil, mereka berlomba-lomba menawarkan acara untuk merayakan Valentine. Dengan dukungan (pengaruh) media massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan yang lainnya. Sebagian besar kaum muslimin juga turut dicekoki (dihidangkan) dengan berbagai slogan dan iklan-iklan Valentine’s Day.

Berbicara tentang sejarah Valentine, ada berbagai versi menceritakan tentang asal mula ajaran ini. Namun semua berita tersebut tanpa disertai sanad yang jelas untuk dapat mengecek keabsahan riwayatnya. Sekedar untuk diketahui, bahwa di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa dahulu, seorang pemimpin agama Katolik bernama Valentine bersama rekannya Santo Marius secara diam-diam menentang pemerintahan Kaisar Claudius II kala itu. Pasalnya, kaisar tersebut menganggap bahwa seorang pemuda yang belum berkeluarga akan lebih baik performanya ketika berperang. Ia melarang para pemuda untuk menikah demi menciptakan prajurit perang yang potensial.

Nah, Valentine tidak setuju dengan peraturan tersebut. Ia secara diam-diam tetap menikahkan setiap pasangan muda yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia.

Lambat laun, aksi yang dilakukan oleh Valentine pun tercium oleh Claudius II. Valentine harus menanggung perbuatannya. Ia dijatuhi hukuman mati. Ada sebuah sumber yang menceritakan bahwa ia mati karena menolong orang-orang Kristen melarikan diri dari penjara akibat penganiayaan.

Dalam cerita tersebut, Valentine didapati jatuh hati kepada anak gadis seorang sipir, penjaga penjara. Gadis yang dikasihinya senantiasa setia untuk menjenguk Valentine di penjara kala itu. Tragisnya, sebelum ajal tiba bagi Valentine, ia meninggalkan pesan dalam sebuah surat untuknya.

Menurut cerita tersebut, Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini–‘From Your Valentine’. Ekspresi dari perwujudan cinta Valentine terhadap gadis yag dicintainya itu masih terus digunakan oleh orang-orang masa kini. Akhirnya, sekitar 200 tahun sesudah itu, Paus Gelasius meresmikan tanggal 14 Febuari tahun 496 sesudah Masehi sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine.

Versi lain tentang Valentine dimulai pada zaman Roma kuno tanggal 14 Febuari. Ini merupakan hari raya untuk memperingati Dewi Juno. Ia merupakan ratu dari segala dewa dan dewi kepercayaan bangsa Roma. Orang Romawi pun mengakui kalau dewi ini merupakan dewi bagi kaum perempuan dan perkawinan. (dari berbagai sumber)

Namun yang jelas, bahwa ini bukan berasal dari Islam, namun lebih mendekati sebuah tradisi yang bernuansa Kristiani dari Roma Kuno. Jika demikian keadaannya, maka ini sudah cukup bagi Kaum Muslimin menyadari bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, dan menyerupai kebiasaan orang-orang kafir.

Berikut ini, kami akan nukilkan beberapa fatwa para ulama yang menjelaskan tentang perayaan tersebut.

Fatwa Lajnah Da’imah (Lembaga Fatwa Arab Saudi)
Fatwa Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi
Fatwa nomor (21203), tanggal: 23-11-1320H

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam atas hamba yang tidak ada nabi setelahnya. Amma ba’du:

Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa telah menelaah apa yang telah disampaikan kepada yang terhormat Mufti Umum, dari yang meminta fatwa: Abdullah bin Aalu Rabi’ah, dan disampaikan kepada Lembaga Seksi Amanah Umum – Lembaga Kibaarul Ulama (ulama besar), nomor: 5324, tanggal: 3-11-1420H.

Yang memohon fatwa menyampaikan pertanyaan yang teksnya sebagai berikut:

“Sebagian manusia ada yang merayakan hari ke 14 dari bulan Februari setiap tahun dengan hari kasih sayang “valentine’s day” (hari valentine). Dimana mereka saling memberi hadiah berupa mawar merah dan memakai pakaian berwarna merah, dan mereka saling memberi selamat, dan sebagian warung/restoran pembuat kue membuat kue dengan warna merah, lalu diberi gambar hati di atasnya. Sebagian toko ada yang memberi beberapa pemberitahuan di sebagian barang dagangannya yang berkenaan dengan kekhususan hari tersebut. Maka apa pendapatmu tentang:

- hukum merayakan hari tersebut?

- Membeli dari toko-toko tersebut pada hari itu?

- Sebagian toko (yang tidak merayakan hari itu) menjual kepada yang merayakannya sebagian apa yang dihadiahkan di hari tersebut?

Semoga Allah membalas kebaikanmu.”

Setelah lembaga mempelajari pertanyaan tersebut, maka lembaga ini menjawab bahwa telah ditunjukkan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dari Al-kitab dan As-sunnah, dan telah sepakat umat ini atasnya, bahwa hari raya di dalam Islam hanyalah dua: yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun selain keduanya dari berbagai perayaan apakah yang berhubungan dengan seseorang, sekelompok orang, atau satu kejadian, atau dengan makna apa saja, maka itu merupakan perayaan-perayaan yang bid’ah, tidak boleh bagi Kaum Muslimin melakukannya, menyetujuinya, dan menampakkan kegembiraan dengannya, atau membantunya dengan sesuatu. Sebab hal tersebut termasuk ke dalam sikap melanggar batasan-batasan Allah, dan barangsiapa yang melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka sungguh dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Apabila perayaan yang diada-adakan tersebut berasal dari perayaan orang-orang kafir, maka ini berarti dosa di atas dosa, sebab menyerupai mereka, dan itu merupakan bentuk loyalitasnya kepada mereka. Dan sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang Kaum Mukminin menyerupai mereka dan bersikap loyal kepada mereka dalam kitab-Nya yang agung. Dan telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka dia termasuk mereka.” (HR.Abu Dawud dari Abdullah bin Umar)

Hari kasih sayang termasuk diantara jenis perayaan yang disebutkan, sebab ia termasuk di antara perayaan berhala Nashrani. Maka tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hari akhir melakukannya, atau menyetujuinya, atau mengucapkan selamat, namun yang wajib adalah meninggalkannya dan menjauhinya, sebagai wujud menjawab panggilan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan menjauhkan diri dari berbagai sebab yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan siksaan-Nya. Sebagaimana pula diharamkan atas seorang muslim membantu perayaan tersebut, atau yang lainnya dari berbagai perayaan yang diharamkan, dengan jenis apapun, baik berupa makanan, minuman, menjual, membeli, membuat, hadiah, saling berkirim surat, atau pemberitahuan, atau yang lainnya. Sebab itu semua termasuk ke dalam sikap saling tolong menolong di atas dosa dan permusuhan, dan kemaksiatan kepada Allah dan rasul-Nya. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)

Wajib atas seorang muslim berpegang teguh dengan Kitabullah dan As-Sunnah dalam setiap keadaannya, terlebih lagi pada waktu-waktu terjadinya fitnah dan banyak terjadi kerusakan. Dan hendaklah seseorang mengerti dan berhati-hati dari terjatuh ke dalam berbagai kesesatan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat yang fasiq yang yang tidak percaya akan kebesaran Allah, dan mememiliki peduli terhadap Islam. Wajib atas setiap muslim untuk berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan memohon hidayah kepada-Nya, dan kokoh di atas agamanya, karena tidak ada yang dapat memberi hidayah kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat memberi kekokohan kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala. Dan hanya kepada Allah kita meminta taufiq. Shalawat dan salam atas Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, dan para shahabatnya.

Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alus Syaikh
Anggota:
- Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
- Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan
- Bakr bin Abdullah Abu Zaid

Fatwa Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya:

“Telah menyebar pada masa-masa akhir ini perayaan ” kasih saying ” (valentine’s day), lebih terkhusus para pelajar wanita, dan ini termasuk di antara hari raya kaum Nashara, dan semuanya diberi model dengan warna merah, baik pakaian, sepatu, dan mereka saling bertukar bunga-bunga berwarna merah. Kami harap dari engkau -yang kami muliakan- penjelasan tentang hukum merayakan hari raya ini, dan apa nasehat engkau kepada Kaum Muslimin dalam perkara-perkara seperti ini? Semoga Allah menjaga dan memeliharamu.

Beliau menjawab: Merayakan hari kasih sayang (valentine’s day) tidak boleh, ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama: bahwa itu merupakan perayaan bid’ah, tidak ada asalnya dalam syari’at.

Kedua: bahwa hal tersebut mengantarkan kepada cinta buta dan kerinduan (kepada lawan jenis bukan mahram).

Ketiga: hal tersebut mengantarkan kepada tersibukkannya hati dalam urusan-urusan rendah seperti ini, yang menyelisihi bimbingan salafus shalih.

Maka tidak dihalalkan pada hari ini muncul sesuatu yang itu merupakan bentuk syi’ar terhadap perayaan tersebut, apakah dalam hal makanan, minuman, pakaian, atau saling memberi hadiah, atau yang lainnya.

Wajib bagi seorang muslim merasa mulia dengan agamanya dan jangan dia menjadi seorang yang tidak punya pegangan, mengikuti setiap ada orang yang berteriak (mengajak kepada sesuatu). Aku memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar memberi perlindungan kepada Kaum Muslimin dari segala fitnah yang zhahir maupun yang batin dan semoga Dia senantiasa menolong kita dengan pertolongan dan taufiqNya.

Minggu, 17 Januari 2010

Etika Syar’i bagi Perempuan dalam Menuntut Ilmu

Penulis: Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

Tidaklah diragukan bahwa perempuan sederajat dengan lelaki dalam hal kewajiban menjalankan perintah agama. Dimana kewajiban menjalankan perintah itu mencakup seluruh perintah agama seperti memurnikan tauhid, sholat, zakat, haji, puasa…dan lain sebagainya.

Dan telah dimaklumi oleh setiap muslim dan muslimah bahwa perintah-perintah agama itu memiliki syarat-syarat, rukun-rukun dan ketentuan-ketentuan yang harus terpenuhi sebagai keabsahan sebuah ibadah atau memenuhi kesempurnaannya. Dan tiada jalan untuk memahami dan menjalankan ibadah tersebut sesuai dengan tuntunannya yang benar kecuali dengan cara menuntut ilmu agama.

Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.”[1]

Berkata Ibnul Jauzy rahimahullâh, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Maka wajib terhadapnya untuk menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya, agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan.”[2]

Dan tercatat indah dalam sejarah, bagaimana semangat para shahabiyâat radhiyallâhu ‘anhunnâ dalam menuntut ilmu dan bertanya akan berbagai problematika yang tengah mereka hadapi tanpa terhalangi oleh rasa malu mereka. Hal tersebut menunjukkan kewajiban menuntut ilmu yang tertanam dalam jiwa-jiwa mereka yang terpuji. ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ berkata,

نِعْمَ النِّسَاءِ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ

“Sebaik-baik perempuan adalah para perempuan Anshor. Tidaklah rasa malu menghalangi mereka untuk tafaqquh (memperdalam pemahaman) dalam agama.”[3]

Dan masih banyak dalil yang menunjukkan kewajiban seorang perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan seluruh dalil dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah yang menjelaskan tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu juga termasuk dalil akan wajibnya perempuan menuntut ilmu, karena perintah pada dalil-dalil itu adalah umum mencakup seluruh umat; laki-laki maupun perempuan.

Ketentuan Bolehnya Perempuan Keluar Untuk Menuntut Ilmu

Menetapnya perempuan di rumah adalah suatu hal yang wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” [Al-Ahzâab :33]

Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian menahan kaum perempuan kalian dari mesjid-mesjid. Dan rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.”[4]

Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَاجَتِكُنَّ

“Sesungguhnya kalian telah diizinkan keluar untuk keperluan kalian.”[5]

Dalil-dalil di atas merupakan penjelasan bahwa hukum asal bagi perempuan adalah untuk menetap di rumahnya dan tidak boleh keluar darinya kecuali untuk hal yang darurat atau keperluan yang dibenarkan oleh syari’at.

Dan tentunya keluar untuk menuntut ilmu adalah salah satu keperluan yang diizinkan oleh syariat, apalagi jika yang dituntutnya adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya.

Banyak dalil yang menunjukkkan akan hal tersebut. Di antaranya :

Hadits Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,

جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ فَقَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ

“Ummi sulaim mendatangi Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu dari kebenaran, apakah ada kewajiban mandi bagi perempuan bila ia mimpi basah? Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menjawab, Iya, bila melihat air.” [6]

Hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, dimana beliau berkata,

جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي

“Fatimah bintu Abi Hubaisy mendatangi Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, saya adalah perempuan yang istihâdhah, tidaklah saya suci, apakah saya (harus) meninggalkan sholat? Maka beliau menjawab, Tidak. Sesungguhnya itu hanyalah sekedar urat dan bukan haidh. Apabila haidhmu telah tiba maka tinggalkanlah sholat dan apabila (haidhmu) telah berlalu maka cucilah darah darimu kemudian sholatlah.”[7]

Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ

“Para perempuan berkata kepada Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, kaum lelaki telah mengalahkan kami terhadapmu. Jadikanlah dari dirimu suatu hari (khusus) untuk kami. Maka (beliau) menjanjikan kepada mereka suatu hari yang beliau menemui mereka padanya. Lalu (beliau) menasehati mereka dan memberikan perintah kepada mereka.” [8]

Demikian beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya seorang perempuan untuk keluar dalam rangka menuntut ilmu agama.

Namun harus diketahui bahwa bolehnya perempuan keluar untuk menuntut ilmu adalah dengan beberapa ketentuan dan etika. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Tidak terpenuhi dari pihak mahramnya siapa yang mengajarkan ilmu kepadanya.

Jika telah terpenuhi dari mahramnya –baik itu ayah, saudara, suami, anak dan yang semisalnya- siapa yang mencukupi kebutuhan ilmu yang dia tuntut, maka menetap di rumah adalah hal yang paling layak baginya berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu.

Berkata Ibnul Jauzy rahimahullâh, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Maka wajib terhadapnya untuk menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya, agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan. Apabila ia mempunyai ayah, saudara, suami, atau mahram yang bisa mengajarkan hal-hal yang diwajibkan dan menuntunkan bagaimana cara menunaikan keawajiban-kewajiban tersebut, maka hal itu telah mencukupinya. Bila tidak, maka dia bertanya dan belajar.”[9]

Dan termasuk catatan penting yang harus diingat bahwa hajat perempuan untuk keluar menuntut ilmu tergantung jenis ilmu yang dia akan pelajari. Karena ilmu itu, ada yang sifatnya wajib ‘ain untuk dipelajari, dimana seorang muslimah kapan tidak mengetahuinya maka dia dianggap berdosa dan menelantarkan kewajibannya. Dan ada juga ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, dimana kewajiban mempelajarinya menjadi gugur bila telah terdapat sekelompok manusia yang telah mencukupi kaum muslimin lainnya dalam mempelajarinya.

Adalah fardhu ‘ain terhadap seorang muslimah untuk mempelajari bagaimana cara memurnikan ibadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Maka sangat wajar bila memperlajari dan meyakini tauhid Rubûbiyah Allah, Ulûhiyah dan Al-Asmâ’ wash Sifât-Nya bersih dari segala noda kesyirikan dan penyimpangan adalah tugas pokoknya.

Seorang muslimah juga wajib untuk memahami hukum-hukum seputar thahârah -tata cara berwudhu, mandi haidh dan janâbah, tayyammum, ahkâm haidh, istihâdhah dan nifâs-. Sebagaimana dia juga wajib mendalami tuntunan sholat, zakat, haji dan puasa yang benar.

Juga wajib terhadapnya untuk mempelajari hukum Ihdâd, batasan-batasan aurat, syarat-syarat keluar dari rumah dan lain-lainnya.

Yang jelas, setiap perkara yang mesti dilakukan oleh seorang muslimah dalam menegakkan peribadatan kepada Rabb-nya maka merupakan suatu kewajiban untuk mempelajari dan memdalaminya. Tentunya tingkat kewajibannya berjenjang sesuai dengan jenis ibadah wajib yang mesti dia laksanakan.

2. Ada keperluan yang mendesak untuk keluar.

Seperti bila seorang muslimah telah mengalami sebuah problemetika yang harus dijawab dan dijelaskan secara syar’i, sedangkan tidak ada dari mahramnya yang bisa menjelaskannya atau mempertanyakannya kepada seorang alim yang terpercaya.

Dan di masa ini, kita sepatutnya senantiasa bersyukur kepada Allah akan berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada kita sehingga dengan sangat mudah untuk mempertanyakan masalah-masalah yang kita hadapi kepada ahlul ilmi dalam jangka waktu yang singkat. Baik itu melalui media komunikasi, surat dan lain-lainnya.

Tentunya keterangan di atas dibangun di atas dalil-dalil yang telah lalu.

3. Bertanya kepada orang yang tepat.

Bila terdapat dari kalangan perempuan orang yang berilmu dan bisa memberikan penjelasan kepadanya, maka tiada pilihan untuk bertanya kepada kaum lelaki. Dan demikian pula dari orang-orang yang berilmu dia memilih orang yang paling alim di antara mereka.

4. Terbatas pada keperluan.

Dalam posisi seorang muslimah bertanya langsung kapada seorang alim. Bila sang alim telah menjawab atau telah menjelaskan apa yang dia butuhkan, maka tidak boleh dia memperbanyak pembicaraan dengannya yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah karenanya. Allah Ta’âlâ berfirman,

“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” [Al-Ahzâb :32]

5. Tidak boleh bercampur baur (ikhtilâth) dengan guru atau murid-murid lelaki yang ada di majelis.

Hal tersebut berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, dimana beliau mendengar Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Jangan sekali-kali seorang lelaki sersendirian dengan perempuan kecuali ada mahram bersamanya.”[10]

Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ

“Hati-hati kalian dari menjumpai perempuan.”

Maka seorang lelaki dari Al-Anshôr berkata, “Bagaimana pendapatmu dengan Al-Hamuw[11]?” Beliau menjawab,

الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Al-Hamuw adalah maut.” [12]

6. Tidak melihat kepada laki-laki yang bukan mahramnya dan bertanya dari belakang hijab.

Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’âlâ,

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” [Al-Ahzâb :53]

Dan dalam firman-Nya,

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” [An-Nûr :31]

Demikianlah beberapa etika dan adab dalam menuntut ilmu. Dan tentunya seorang perempuan muslimah ketika keluar dari rumahnya –dalam menuntut ilmu maupun selainnya- ada beberapa etika dan adab yang telah dimaklumi. Seperti berhijab dengan hijab yang syar’i, sebagaimana dalam firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.” [An-Nûr :31]

Dan tidak boleh dia menampakkan keindahannya, sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” [Al-Ahzâab :33]

Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Dua golongan dari penduduk Neraka yang saya belum pernah melihatnya sebelumnya : Kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi untuk memukul manusia dengannya dan para perempuan yang berpakaian tapi telanjang berjalan berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta, mereka tidaklah masuk sorga dan tidak (pula) menhirup baunya, padahal baunya dihirup dari jarak begini dan begini.” [13]

Dan tidak boleh keluar dari rumah dengan memakai wangi-wangian, sebagaimana dalam hadits Abu Musâ Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Siapa saja dari kalangan perempuan yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati suatu kaum sehingga mereka mencium baunya maka ia adalah seorang pezina.” [14]

Beberapa Akhlak Terpuji bagi Seorang Penuntu Ilmu

Seorang penuntut ilmu hendaknya berhias dengan mahligai ketakwaan dalam zhohir dan bathinnya dan mengikhlaskan niatnya karena Allah. Makna ikhlas yaitu engkau meniatkan upaya dan usahamu dalam menuntut ilmu untuk mengangkat kejahilan dari dirimu dan untuk memurnikan ibadah kepada Allah dengan cara yang benar. Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah akan memberikan ilmu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Baqarah :282]

Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Setiap amalan sesuai dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”

Berkata Ibrahim An-Nakha’iy rahimahullâh, “Siapa yang menuntut suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kepada apa yang mencukupinya.”[15]

Dan berkata Al-Hasan Al-Bashry rahimahullâh, ”Siapa yang menuntut suatu ilmu ini, lalu ia menghendaki apa yang ada disisi Allah ia akan mendapatkannya -insyaAllah-. Dan siapa yang menghendaki dunia karenanya, maka -demi Allah- itulah bagiannya dari ilmu itu.”[16]

Dan hendaknya engkau memakmurkan zhohir dan bathinmu dengan rasa takut kepada Allah dan terus menerus merenungi kekuasaan dan kebesaran Allah. Ketahuilah bahwa ilmu itu bukan sekedar pengetahuan tanpa ada khasy-yah (rasa takut) kepada Allah.

Berkata Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak periwayatan, tapi ilmu itu adalah Al-Khasy-yah.”[17]

Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Fâthir : 28]

Dan bersemangatlah kalian para penuntut ilmu untuk beramal dengan ilmu yang telah engkau pelajari, sebab ilmu itu dipelajari untuk diamalkan. Dan dengan mengamalkan ilmu itu engkau akan mendapat tambahan anugrah ilmu dan berbagai keutamaan serta kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan dalam firman-Nya,

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” [An-Nisâ` :66-68]

Dan komitmenlah dalam menegakkan ibadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah-ibadah yang disunnahkan sebab itu adalah salah satu sifat seorang yang faqih (paham agama). Berkata Al-Hasan Al-Bashry rahimahullâh, “Seorang yang faqih adalah orang yang zuhud pada dunia, mendalam ilmu agamanya dan terus menerus di atas ibadah kepada Rabb-nya.”[18]

Dan peliharahlah segala perintah dan ketentuan Allah pada dirimu dan jangan engkau menelantarannya. Ingatlah selalu wejangan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam kepada Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ,

احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

“Jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya Allah akan senantiasa menjagamu. Jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati Allah di hadapanmu.” [19]

Dan berhati-hatilah –wahai saudari penuntut ilmu- dari sifat hasad, sebab itu adalah penyakit yang telah banyak menghambat jalan para penuntut ilmu. Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya,

“Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” [An-Nisâ` :54]

Dan obatilah penyakit itu dengan selalu mengingat firman-Nya,

“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat.” [Az-Zukhruf :32]

Dan berwaspadalah dari sikap bangga terhadap ilmu yang engkau dapatkan dan hindarkan dirimu dari sikap congkak. Allah telah mengingatkan,

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqmân :18]

Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam telah bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk sorga siapa yang terdapat sebesar dzarrah dari sikap sombong dalam hatinya.” [20]

Semoga Allah memudahkan untuk kita semua segala jalan dalam menuntut ilmu dan membukakan untuk kita semua pintu-pintu kebaikan dan rahmat. Wallâhu Ta’âlâ A’lam.@


[1] Hadits hasan diriwayatkan oleh sejumlah shahabat. Dishohihkan oleh Al-Albâny dalam Takhrîj Musykilatul Faqr hal 80 dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil –sebagaimana yang kami dengar dari beliau-. Dan As-Suyuthi mempunyai risalah tersendiri dalam mengumpulkan jalan-jalan periwayatan hadits ini.

[2] Ahkâm An-Nisâ` karya Ibnul Jauzy hal. 7

[3] Dikeluarkan oleh Muslim no. 500, Abu Dâud no. 270 dan Ibnu Mâjah no. 634.

[4] Dikeluarkan oleh Ahmad 2/76, 76-77, Abu Dâud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1684, Al-Hâkim 1/259 dan Al-Baihaqy 3/131 dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ. Dan dishohihkan oleh Al-Albâny dari seluruh jalannya dalam Irwâ`ul Gholîl 2/294 dan dalam Ats-Tsamar Al-Mustathôb 2/730.

[5] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim no. 2170.

[6] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim no. 313, At-Tirmidzy no. 122, An-Nasâ`i 1/114-115 dan Ibnu Mâjah no. 600.

[7] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasâ`i dan Ibnu Mâjah.

[8] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim dan An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô.

[9] Ahkâm An-Nisâ` karya Ibnul Jauzy hal. 7

[10] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim dan An-Nasâ`i dalam ‘Usyratun Nisâ` no. 334.

[11] Yang dimaksud dengan Al-Hamuw di sini adalah kerabat suami seperti saudara, anak saudara, paman, anak paman dan yang semisalnya. Demikian keterangan An-Nawawy dalam Al-Minhâj 7/161-162 (cet. Dâr Alam Al-Kutub)

[12] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy dan An-Nasâ`iy dalam ‘Usyratun Nisâ` no. 334.

[13] Dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

[14] Dikeluarkan oleh Ahmad 4/414, Abu Dâud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786 dan An-Nasâ`i dengan sanad yang shohih.

[15] Dikeluarkan oleh Ad-Dârimi no. 265 dengan sanad yang shohih.

[16] Dikeluarkan oleh Ad Dârimy no 254 dengan sanad yang shohih.

[17] Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayân Al-Ilmi wa Fadhlih 2/25 dengan sanad yang shohih.

[18] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/147 dengan sanad yang hasan.

[19] Dikeluarkan oleh Ahmad 1/293 dan At-Tirmidzy no. 2016 dengan sanad yang hasan.

[20] Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dâud, At-Tirmidzy dan Ibnu Mâjah.

Sumber: http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=AnNisa&article=84

Popularity: 17% [?]

Nasihat Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin Bagi Penuntut Ilmu

Ikhlas Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh pernah ditanya: “Bagaimanakah cara agar bisa ikhlas dalam menuntut ilmu?”

Beliau menjawab:

Ikhlas dalam menuntut ilmu itu bisa dicapai dengan beberapa hal:

Pertama, belajar dengan niat melaksanakan perintah Alloh. Karena Alloh telah memerintahkannya, Alloh berfirman (yang artinya),

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

“Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang hak selain Alloh dan mintalah ampun atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)

Dan Alloh subhanahu wa ta’ala juga mendorong orang supaya menuntut ilmu. Sedangkan dorongan Alloh atas sesuatu memberikan konsekuensi kecintaan dan keridhoan Alloh terhadap hal itu.

Kedua, belajar dengan niat menjaga syariat Alloh. Karena menjaga syariat Alloh hanya bisa dilakukan dengan mempelajari dan menghafalkannya, dan bisa juga dengan mencatat.

Ketiga, belajar dengan niat untuk melindungi syariat dan membelanya. Karena seandainya tidak ada ulama niscaya syariat tidak akan terlindungi. Dan tidak ada seorang pun yang menjadi pembelanya. Oleh sebab itu, misalnya, kita dapati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama yang lainnya bersikap lantang memusuhi ahli bid’ah dan membeberkan kebatilan bid’ah-bid’ah mereka, maka kami berkeyakinan bahwa mereka itu memperoleh kebaikan (pahala) banyak sekali.

Keempat, belajar dengan niat mengikuti syariat Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Karena tidak mungkin bisa mengikuti syariat beliau kecuali bila sudah mengetahui isi syariat ini.

Kelima, belajar dengan niat menghilangkan kebodohan dari dirimu sendiri dan orang lain (Diambil dari Kitabul ‘Ilmi, hal. 199, cetakan Daar Ats Tsuraya).

Pandai Memanfaatkan Waktu

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh juga pernah ditanya: Apakah saran anda tentang pemanfaatan waktu dan bagaimana cara menjaganya agar tidak terbuang sia-sia?

Beliau menjawab:

Para penuntut ilmu sudah semestinya menjaga waktunya agar tidak terbuang sia-sia. Sedangkan penyia-nyiaan waktu itu memiliki beberapa bentuk:

Pertama, tidak mau mengingat-ingat pelajaran dan tidak membaca lagi apa yang sudah pernah dipelajari.

Kedua, duduk-duduk bersama dengan teman-temannya dan membicarakan permasalahan yang sia-sia dan tidak berfaedah.

Ketiga, ini merupakan yang paling berbahaya bagi penuntut ilmu. Yaitu dia tidak punya keinginan selain membuntuti ucapan orang, si anu bilang demikian, si itu bilang begini. Apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, padahal perkara itu tidak penting bagi dirinya. Tak diragukan lagi bahwa perbuatan ini jelas termasuk tanda kelemahan Islam di dalam dirinya. Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

مِن حُسْنِ إسلام المرء تركه ما لا يَعنيه

“Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah mau meninggalkan perkara yang tidak penting baginya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

Menyibukkan diri dengan kabar yang tersebar dari mulut ke mulut serta terlalu banyak bertanya adalah perbuatan menyia-nyiakan waktu. Pada hakikatnya ini adalah penyakit. Apabila penyakit itu sudah menjangkiti seseorang dan menjadi tekadnya yang terbesar -kita mohon keselamatan darinya kepada Alloh- maka terkadang hal itu menimbulkan permusuhan dengan orang yang sebenarnya tidak layak untuk dimusuhi, atau membela orang yang sebenarnya tidak layak untuk dibela, hanya gara-gara terlalu memperhatikan urusan tersebut, sampai-sampai membuatnya lalai untuk menimba ilmu. Dia berdalih bahwa hal itu dilakukannya demi memperjuangkan kebenaran. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Akan tetapi perbuatan ini justru membuat diri seseorang disibukkan dengan urusan yang tidak penting baginya.

Adapun apabila tiba-tiba datang berita tanpa kau cari-cari dan tanpa kau minta maka setiap orang juga menerima berita, namun tidaklah hal itu membuat mereka sibuk dengannya, dan itu juga tidak menjadi keinginannya yang terbesar. Sebab hal ini tentu saja akan menyibukkan penuntut ilmu dan menjadikan urusannya berantakan, bahkan bisa menyebabkan terbukanya pintu hizbiyah (fanatisme kelompok) sehingga menimbulkan perpecahan.” (Diterjemahkan dari Kitabul ‘Ilmi, hal. 205 Daar Ats Tsuraya).

ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

A. Pendahuluan

Segala puji bagi allah SWT yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang belum diketahui. Shalawat dan salam kepada Rasul pembawa rahmat bagi sekalian alam; “Tidaklah kamu memperhatikan bahwa Allah memudahkan untuk kamu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan ni’mat-Nya atas kamu, baik yang lahir maupun yang bathin. Dan di antara manusia ada yang membantah Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang terang kebenarannya”. Alquran surah Luqman ayat 20: “Barangsiapa menginginkan dunia dia harus berilmu, barangsiapa menginginkan akhirat dia harus berilmu dan barangsiapa menginginkan keduanya maka dia harus berilmu”.[1] Hal senada juga pernah diucapkan oleh Imam Syafi’i ra., dalam kata-kata hikmah dan nasehat-nasehat beliau: “Siapa senang kepada dunia maka hendaklah ia mencari ilmu dan barangsiapa berkehendak kepada akhirat juga hendaklah mencari ilmu. Karena menuntut ilmu lebih baik daripada shalat sunnat dan barangsiapa menuntut ilmu hendaklah ia mendalaminya, tanpanya kehalusan ilmu akan hilang serta manusia yang paling tinggi derajatnya ialah mereka yang tidak melihat derajatnya. Begitu juga semulia-mulia manusia ialah mereka yang tidak melihat kemuliannya. Dan sabda Nabi SAW: Sebaik-baik manusia diantara kalian ialah yang paling baik etika atau akhlaknya”.

Manusia dalam pencarian mereka terhadap alam semesta dalam berbagai sisinya memperoleh penemuan-penemuan baru yang ketika diolah secara sistematis melalui penyelidikan-penyelidikan dan pengujuian-pengujian lantas menjadi apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan. Beragamnya lapangan penggalian dan penyelidikan membuahkan beragamnya lapangan ilmu pengetahuan yang dirumuskan yang dikira oleh manusia akan memberikan keuntungan dan kemudahan bagi hidup mereka, namun dalam kenyataannya juga menimbulkan akibat-akibat yang justru merusak dan meyusahkan mereka. Oleh karena itu, diperlukan moral/etika dalam penggalian, perumusan dan pengembangan serta pemanfaatan ilmu agar ilmu menjadi sesuatu yang memberikan kemudahan, ketentraman dan kebahagiaan bagi manusia. Berkaitan dengan hal di atas, dalam makalah ini dikemukakan tentang pengertian etika, standar buruk baik dan etika dalam pengembangan ilmu.

B. Pengertian Etika

Dalam mendefinisikan etika ini para ahli mengemukakan beberapa pendapat diantaranya:

Ethics is the branch of philosophy in which men attemp to evaluate and decide upon particular courses of moral actions or general theories of conduct. The term “ethies” or “ethic” from thr Greek Ethios (moral) and Ethos (character), also refers to the values of rules of conduct held by agroup or individual, as for examplein the phrase “Cristian Ethies” or “Unithical Behavior”.[2]

“Etika adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan seluruh tingkah laku manusia”.[3]

“Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya”.[4]

“Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh akal pikiran”.[5]

“Objek material etika adalah tingkah laku manusia dan objek formalnya adalah buruk atau baiknya perbuatan mereka atau bermoral dan tidak bermoralnya tingkah laku manusia”.[6]

Jika objek material dan objek formalnya adalah seperti di atas, maka di dalam Islam dapat disebut dengan akhlak yang ukurannya telah ditetapkan Allah yang menciptakan semua makhluk, Yang Maha Mengetahui, yang Dia informasikan kepada para Nabi dan Rasul melalui Malaikat Jibril hingga kepada Rasul Muhammad SAW.[7] Di dalam sebuah hadits dinyatakan: اِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ, yang artinya: “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan Akhlak”. Siti Aisyah isteri Rasulullah ditanya tantang akhlak Rasulullah, ia menjelaskan bahwa akhlak Rasulullah adalah Alquran كَانَ خُلُقُه الْقُرآن.[8] Pertanyaan ini berkaitan dengan Alquran surah 68 ayat 4:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)

Artinya: ”Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-Qalam: 4)

Di dalam agama Islam standar akhlak diterangkan dengan sempurna pada semua hal yang menyangkut kepentingan untuk menjaga dan memelihara kebahagiaan manusia dalam menunaikan tugas mereka sebagai khalifah di bumi yang berdiri tegak di atas kata adil, yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan ihsan lawan fahsya, munkar dan melampaui batas yang juga disebut zhalim, tabdziir dan israf. Dalam Alquran surah an-Nahal ayat 90 Allah SWT menjelaskan:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (٩٠)

Artinya: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”[9] (Q.S. An-Nahal: 90)

Kata al-’adl dalam segala bentuknya disebut sebanyak 26 kali, merupakan penekanan yang sangat tegas bahwa tanpa adil maka apapun yang dilakukan manusia pasti akan mendatangkan bencana termasuk dalam pengembangan ilmu.

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (١٤١)

Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al-An’am: 141)[10]

Ini tentang Israf (berlebih-lebihan), sesuatu yang berlebih-lebihan atau melampaui batas maka akan menimbulkan bencana. Tentang israf ini disebutkan dalam segala aspeknya sebanyak 22 kali

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (٣٥)فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ (٣٦)

Artinya: ”Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari Keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (Q.S. Al-Baqarah: 35-36)

Zhalim, melangggar ketentuan Allah menyebabkan Adam dan Hawa dipindahkan kepemukaan bumi, ini juga berarti zhalim mengakibatkan penderitaan dan bencana yang sangat mengerikan. Allah menyebutkan dalam Alquran tentang zhalim dengan segala bentuk dan kaitan pemahamannya sebanyak 321 kali, lebih dari 4% dari keseluruhan ayat Alquran yang berjumlah 6236 ayat.[11]

Inilah di antara batsan-batasan etika/moral/akhlak dalam alquran, belum lagi dalam Hadits Nabi Muhammad SAW, jelas gamblang dan pasti, datang dari Rabbul ’Alamin yang Maha Mengetahui. Dari hadits dan ayat-ayat di atas, dapat dikemukakan bahwa akhlak dalam Islam adalah: ”Ketentuan dari Allah dan rasul-Nya tentang ukuran buruk dan baiknya tingkah laku atau perbuatan manusia.”

Apapun ukuran etika/moral yang datang dari selain Allah, pada hakekatnya hanyalah hasil akal pikiran dan hawa nafsu dengan interaksinya dengan alam yang dapat diindra baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui apa yang disebut ilmu. Berikut akan dikemukakan hal ini lebih jauh, berkenaan dengan ukuran baik dan buruk.

C. Beberapa Pendapat Tentang Ukuran Buruk dan Baik di dalam Aliran Filsafat

Di dalam aliran filsafat terdapat beberapa pendapat mengenai ukuran buruk dan baiknya perbuatan manusia, diantaranya:

  1. Pendapat Aliran Hedonisme

Menurut penganut aliran ini perbuatan manusia dikatakan baik jika mendatangkan kenikmatan, kebahagiaan dan kelezatan. Tidak perduli, yang penting nikmat, walaupun sesudah itu mengakibatkan penderitaan. Sebaliknya semua perbuatan manusia itu dipandang buruk jika mengakibatkan penderitaan walaupun dibalik penderitaan itu sesungguhnya ada kebahagiaan.[12]

  1. Pendapat Aliran Vitalisme

Aliran ini berpendapat bahwa orang yang baik atau perbuatan yang baik ialah orang atau perbuatan yang mencerminkan kekuatan dan orang atau perbuatan yang tidak baik ialah yang mencerminkan kelemahan.[13]

Paham aliran ini melahirkan penjajahan, feodalisme dan tirani, sebagaimana dapat disaksikan dalam pentas sejarah dimulai dari penjajahan Inggris, kemudian Belanda, Portugis dan negara-negara yang kuat hingga pecahnya perang dunia kedua yang kemudian masih dilanjutkan dengan bentuk penjajahan ideologis, ekonomi dan lain-lain.

  1. Aliran Utilitarisme

Aliran ini berpendapat bahwa benar suatu tindakan tergantung dengan manfaat akibatnya. Sifat utalitarisme adalah universal, artinya yang menjadi norma-norma moral bukanlah akibat-akibat baik bagi dirinya sendiri saja, melainkan juga bagi seluruh manusia. Pengorbanan pribadi untuk kepentingan orang lain adalah tindakan yang tertinggi nilainya.[14]

  1. Aliran Sosialisme atau Adat Kebiasaan

Menurut aliran ini, buruk dan baik adalah tergantung dengan pandangan masyarakat yang telah terlembaga dalam adat mereka. Apa yang baik menurut pandangan masyarakat maka itulah yang baik dan apa yang buruk menurut mereka maka itulah yang buruk. Pendapat aliran ini condong hanya bersifat lokal.[15]

  1. Aliran Humanisme

Menurut aliran ini perbuatan yang baik ialah perbuatan yang sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, dalam arti bahwa seluruh faktor yang melingkupi mereka ikut berperan menjadi alat ukur, seperti pikiran, perasaan dan situasi lingkungannya.[16]

  1. Aliran Religiosisme

Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan yang baik ialah apa yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan perbuatan yang tidak baik ialah apa yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka tugas para agamawanlah untuk merumuskan apa yang menjadi kehendak Tuhan itu.[17]

Jika rumusan-rumusan itu ditentukan oleh para agamawan, maka atas nama Tuhan sesungguhnya yang terjadi bukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan, tetapi lebih condong adalah apa yang dikehendaki oleh orang-orang yang mengatas namakan Tuhan, kenyataan inilah yang terjadi pada semua rumusan-rumusan yang mengatas namakan agama, kecuali agama Islam.

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (٣١)

Artinya: ”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. Al-Taubah: 31)

Selain pendapat-pendapat aliran di atas, ada lagi beberapa teori moral yang lain seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa manusia berkewajiban melaksanakan moral imperatif, sehingga manusia bertinfak baik tanpa ada pemaksaan dari pihak lain, melainkan sadar bahwa tindakan tidak baik orang lain akan merugikan diri kita sendiri. Teori Etika Hak Asasi Manusia, yang dikemukakan oleh Jhon Lock (1632-1704). Dilihat dari rekayasa teori moral ini lebih mengaksentuasikan hak setiap orang, terutama hak publik sebagai konsumen produk rekayasa. Jhon Wals dengan theory of justice-nya mensinthesiskan dua teori yang di atas.

Dua teori keadilan menurut Rawls, yaitu pertama bahwa setiap orang memiliki persamaan hak atas kebebasan yang sangat luas sehingga kompatibel dengan orang lain, kedua bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata sedemikian sehingga keduanya, a) bermanfaat bagi setiap orang sesuai dengan harapan yang patut dan b) memberi peluang yang sama bagi semua untuk segala posisi dan jabatan.

Teori keutamaan dan jalan tengah yang baik. Aristoteles mengetengahkan tentang tendensi (defisiensi). Keberanian merupakan jalan tengah antara nekad dan pengecut, kejujuran merupakan jalan tengah antara membukakan segala yang menghancurkan dengan menyembunyikan segala sesuatu. Dilihat dari sisi rekayasawan teori moral ini sangat realitik. Artinya akan terus terjadi konflik kepentingan antara produsen dan konsumen, antara strata tertentu dengan strata yang lain, antara hak dan kewajiban profesional dengan hak kewajiban publik, mungkin juga kelompok, sehingga perlu dicari jalan tengah yang baik.

D. Etika Dalam Pengembangan Ilmu

Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan alam semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Karena itu ilmu sebagai masyarakat, karena ilmu didukung dan dikembangkan oleh masyarakat yang mematuhi kaedah-kaedah tertentu.[18] Untuk itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang dapat menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia tidak menimbulkan dampak negatif.

Tentang masalah etika dalam pengembangan ilmu Noeng Muhadjir membagi kepada empat klaster, yaitu: 1) Temuan basic research, 2) Rekayasa teknologi, 3) Dampak sosial rekayasa, dan 4) Rekayasa sosial.

”Etika merupakan acuan moral bagi pengembangan ilmu. Tampilnya dapat berupa: visi, misi, keputusan, pedoman prilaku dan kebijakan moral dalam pengembangan ilmu.”[19]

Penjelasan :

1. Temuan Basic Research dan Masalah Etika

Dunia ilmu telah menemukan DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup. Ditemukan DNA unggul dan DNA cacat. Ketika mengembangkan DNA jati unggul untuk memperluas, mempercepat dan meningkatkan kualitas reboisasi kita, tidak jadi masalah. Juga ketika kloning domba kita berhasil dan tergambarkan bagaimana domba masa depan akan lebih dapat memberikan protein hewani kepada manusia yang semakin bertambah dengan pesat, juga tidak menimbulkan masalah. Tetapi ketika masuk ranah manusia, apakah manusia unggul perlu dikloning dan pakah manusia yang memiliki DNA cacat tidak diberi hak untuk memiliki keturunan, menimbulkan masalah HAM. Di Amerika Latin ditemukan DNA keluarga cacat secara turun temurun, ditemukan pada keluarga tersebut tidak ada bulu-bulunya, berbeda dengan DNA yang pada umumnya berbulu. Di suatu lokasi di Indonesia ditemukan penduduk desa tersebut seluruhnya mengalami mental retarded. Apakah tidak dapat diadakan upaya.

Telah ditemukan tiga partikel radio aktif, yaitu sinar alpha, sinar beta dan sinar gamma dan sejenisnya yang dikenal dengan sinar x, sangat berguna bagi dunia kedokteran, sinar beta yang dikenal dengan sinar laser sangat berguna bagi dunia konstruksi, sinar alpha merupakan radio aktif dan partikel alpha dikenal sebagai atom helium dan atom hydrogen. Temuan tiga basic research itu sangat berguna bagi manusia, tetapi juga sekaligus direkayasa untuk tujuan perang, mendeteksi musuh dalam gelap, untuk membuat senjata laser dan bom atom, sangat menyedihkan jika dihadapkan untuk tujuan perang.

Penisilin yang ditemukan secara kebetulan oleh Alexander Fleming dalam wujud jamur dapat dikembangkan menjadi adonan roti dan dapat dikembangkan menjadi bakteri antibiotiok bagi banyak penyakit infeksi, sampai sekarang masih banyak digunakan orang. Temuan tersebut disyukuri banyak orang karena karena banyak sekali gunanya untuk menyembuhkan keracunan darah, penumonia meningitis, dan berbagai infeksi. Eksesnya baru diketahui akhir-akhir ini masalahnya sejauhmana etika diterapkan pada penemuan tersebut.

Temuan DNA, atom dan penisilin sebagai temuan basic research memang benar-benar hebat. Pengembangan DNA untuk teknlogi genetik berprosfek bagus, sekaligus membuka masalah pengembangan temuan atom untuk pengembangan teknologi energi dan teknologi medis sangat menjanjikan bagi manusia, tetapi sekaligus menimbulkan masalah dalam penggunaannya dan juga terhadap eksesnya. Penggunaan penisilin sebagai obat antibiotik yang mujarab patut dipujikan mengingat besar jumlah orang yang meninggal karena infeksi. Tetapi ekses menjadi minimum terhadap sejumlah obat siapa yang mesti bertanggung jawab. Apakah lebih terkait pada tanggung jawab professional dokter atau pemahaman pasien terhadap resiko.

2. Temuan Rekayasa Teknologi dan Masalah Etik

Thalidomide suatu temuan obat tidur yang dianggap aman yang telah diujikan kepada binatang dan manusia. Kemudian para ilmuan menemukan bahwa obat itu berbahaya jika dikonsumsi oleh ibu hamil memasuki bulan kedua karena akan mengakibatkan anaknya cacat, ekses obat ini menyangkut masa depan anak yang selamanya cacat fisik dan mengerikan.

Kapal Tetanik (1912) dicanangkan sebagai kapal pesiar terbesar dan termewah dan diyakini tidak akan mungkin tenggelam, tetapi kenyataannya tenggelam dari jumlah penumpang 2.227 orang hanya 705 orang yang selamat, siapa yang bertanggung jawab ?

3. Dampak Sosial Pengembangan Teknologi dan Masalah Etik

Dampak pengembangan teknologi dapat dipilah menjadi dua, yaitu dampak pada kualitas hidup individu dan dampak pada kualitas hidup sosial menyeluruh. Dengan ditemukanya energi partikel alpha yang radio aktif dalam konstruksi pemikiran destruktif telah dipergunakan untuk membuat bom nuklir yang mengakibatkan kehancuran secara massal dan merusak kelestarian alam. Alhamdulillah masyarakat manusia sadar sehingga energi nuklir yang radio aktif digunakan untuk keperluan media dan untuk alternatif energi listrik.

4. Rekayasa Sosial dan Masalah Etik

Sistem kapitalisme dan sistem sosialisme adalah merupakan rekayasa sosial. Sistem sosialisme Rusia yang komonistik terbukti gagal sehingga memang harus ditinggalkan. Sistem sosialisme Inggris dan Perancis mengalami banyak sekali modifikasi sehingga semakin mendekat dengan kapitalisme, sementara kapitalisme itu sendiri juga mengalami banyak sekali perubahan. Ide demokrasi yang mengakui persamaan antar manusia merupakan rekayasa sosial yang konter terhadap legitimasi monarki atau sistem kasta. Ide demokrasi kapitalistik menampilkan struktur masyarkat bentuk piramidal, hal mana 40 % merupakan masyarakat miskin yang diidealkan menerima kue kekayaan dan pendapatan hanya sekitar 16 %, dan kenyataanya banyak yang lebih kecil dari 10 %. Marxisme menteorikan bahwa masyarakat terbelah menjadi dua golongan, yaitu borjuis dan proleter yang anta gonistik. Ternyata muncul antar keduanya golongan menengah yang makin besar.

Sementara itu Noeng Muhadjir menawarkan ide demokrasi mayoritas terdidik. Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dan peran iptek menggeser peran moral, maka teori rekayasa sosial yang kami tawarkan yang dominan mengendalikan kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sedangkan 16 % yang lebih berhasil dan 2 % yang sangat berhasil akan menjadi reference group keberhasilan. Sedangkan 16 % yang kurang berhasil dan 2 % yang gagal dalam hidup akan menjadi eksponen penajaman prikemanusiaan yang perlu tumbuh dalam totalitas kehidupan.[20]

Berkaitan dengan etika pengembangan ilmu ini, Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah mengemukakan bahwa ada tujuh moralitas ilmu yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuan, yaitu:

1. Rasa tanggung jawab di hadapan Allah, sebab ulama merupakan pewaris para anbiya. Tidak ada pangkat yang lebih tinggi daripada pangkat kenabian dan tidak ada derajat yang ketinggiannya melebihi para pewaris pangkat itu. “Pada hari kiamat nanti, kaki manusia tidak akan bergerak sebelum ditanya kepadanya empat masalah: tentang umurnya untuk apa dipergunakannya, tentang masa mudanya untuk apa dihabiskanya, tentang hartanya dari mana diperoleh dan dibelanjakan untuk apa serta tentang ilmunya, apa yang telah dilakukannya denga ilmunya itu”. Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani, dengan isnad shahih dan dengan lapadznya, termaktub dalam Kitab At-Targhib, hadits nomor 1564. Semakin luas penguasaan akan ilmu oleh seorang ulama/ilmuwan, maka semakin berat tanggung jawabnya.

2. Amanat Ilmiah. Sifat amanah merupakan kemestian iman termasuk ke dalam moralitas ilmu, tak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah. Dalam memberikan kriteria orang beriman Allah menjelaskan dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (٨)

Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Q.S. Al-Mukminun: 8)

Sebaliknya sifat khianat merupakan kriteria orang yang munafik, yang salah satu sifatnya yang paling menonjol adalah apabila diberikan amanat maka dia berkhianat. Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu saling menasehati dalam hal ilmu, karena sesungguhnya khianat seseorang diantara kamu dalam ilmunya lebih dasyat daripada khianatnya dalam urusan harta dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawabanmu pada hari kiamat.” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, lihat Majmu’uz Zawaid jilid I halaman 141 dan At-Targhib jilid I hadits nomor 206.

Salah satu dari amanat ilmiah adalah merujuk ucapan kepada orang yang mengucapkanya, merujuk pemikiran kepada pemikirnya, dan tidak mengutip dari orang lain kemudian mengklaim bahwa itu pendapatnya karena hal seperti itu merupakan plagiat dan penipuan. Berkaitan dengan ini dapat disaksikan bahwa ilmuan kaum muslimin sangat memprihatinkan tentang sanad di dalam semua bidang ilmu yang mereka tekuni, bukan hanya dalam bidang hadits saja.

Seseorang yang tahu bertahan dengan pendirianya dan terhadap hal-hal yang tidak diketahuinya dia berkata: “Aku tidak tahu.” Di dalam dunia ilmiah tidak dikenal sifat malu dan sombong. Dunia ilmiah selalu mengakui kebenaran apapun atau faedah apapun yang sudah jelas, sekalipun bersumber dari orang yang tidak memiliki ilmu yang luas atau berusia muda atau berkedudukan rendah. Dari Zubair bin Math’am bahwa seorang pria bertanya: “Ya Rasulullah, daerah mana yang paling disukai Allah dan daerah mana yang paling dimurkai Allah ? Rasulullah menjawab: “aku tidak tahu sebelum aku menanyakannya kepada Jibril.” Rasulullah didatangi Jibril dan memberitahukan bahwa: “Sesungguhnya daerah yang paling dicintai Allah adalah mesjid-mesjid dan yang paling dimurkai Allah adalah pasar-pasar.” Ibnu Said dan Ibnu Abdil Bar tentang ilmu, Khanzul Ummah jilid I hadits nomor 1419.

Para sahabat Rasulullah dan para tabi’in tidak malu untuk mengatakan tidak tahu, terhadap hal-hal yang memang mereka tidak mengetahuinya atau mereka mempersilahkan kepada orang lain demi kebenarann. Mereka tidak merasa rendah diri dan tidak pula takabbur. Pendapat-pendapat mereka tanpa ragu merasa tarik jika kemudian ternyata ijtihad mereka tidak benar.

3. Tawadhu. Salah satu moralitas yang harus dimiliki oleh ilmuan iaah tawadhu. Orang yang benar berilmu tidak akan diperalat oleh ketertipuan dan tidak akan diperbudak oleh perasaan ‘ujub mengagumi diri sendiri, karena dia yakin bahwa ilmu itu adalah laksana lautan yang tidak bertepi yang tidak ada seorang pun yang akan berhasil mencapai pantainya. Maha benar Allah dengan firman-Nya:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا (٨٥)

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. Al-Isra: 85)

Para ilmuwan merupan iring-iringan yang sangat panjang yang jauh mengakar pada masa silam dan terus menjalar ke masa depan. Apa yang dimiliki oleh seorang ilmuan hanyalah merupakan satu bagian dari iring-iringan yang panjang itu. Tidaklah layak jika ia mengingkari kelebihan orang-orang yang terdahulu atau mengingkari upaya generasi yang berikutnya. Tidak ada seorang pun yang ilmunya meliputi segala sesuatu kecuali Allah, manusia hanya mengetahui sedikit sementara sejumlah besar tidak diketahuinya. Hari ini dia tahu apa yang kemaren belum diketahuinya dan besok dia tidak mengetahui lagi apa yang telah diketahuinya hari ini. Perhatikanlah pernyataan seorang ulama fiqih yang terkenal di bawah ini ketika beliau menimba ilmu seorang shaleh, yatu Imam Syafi’i menatakan: “Setiap kali aku belajar dari sejarah aku semakin tahubahwa akalku berkurang atau aku tahu bahwa ilmuku bertambah, semakin bertambah pula ilmuku tentang kebodohanku.[21]

4. Izzah. Perasaan mulia yang merupakan fadhillah paling spesifik bagi kaum muslimin secara umum. Allah berfirman:

يَقُولُونَ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأعَزُّ مِنْهَا الأذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَعْلَمُونَ (٨)

Artinya: Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Q.S. Al-Munafiqun: 8)

Izzah di sini adalah perasaan diri mulia ketika menghadapi orang-orang yang takabbur atau orang yang berbangga dengan kekayaan, keturunan, kekuatan atau kebanggaan-kebanggaan lain yang bersifat duniawi. Izzah adalah bangga dengan iman dan bukan dosa dan permusuhan. Suatu perasaan mulia yang bersumber dari Allah dan tidak mengharapkan apapun dari manusia, tidak menjilat kepada orang yang berkuasa.

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُولَئِكَ هُوَ يَبُورُ (١٠)

Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Q.S. Fathir: 10)

Merasa cukup adalah perasaan yang ada sebelum seseorang memiliki yang sesungguhnya. Ada sementara orang yang memiliki harta banyak, tetapi sebenarnya jiwanya miskin dan tangannya terbelenggu, kikir, padahal sementara orang lain yang bertangan hampa tidak berharta masih tetap merasa lebih kaya dari Qarun. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda: “Yang disebut kaya bukanlah karena banyak harta akan tetapi yang sesungguhnya kaya adalah kaya hati.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi dari Abu Hurairah)

5. Mengutamakan Ilmu

Salah satu moralitas yang orisinil dalam Islam adalah menerapkan ilmu dalam pengertian bahwa ada keterkaitan antara ilmu dan iradah. Kehancuran kebanyakan manusia adalah karena mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmu itu atau mengamalkan sesuatu yang ertolak belakang dengan apa yang mereka ketahui, seperti dokter yang mengetahui bahayanya suatu makanan atau minuman bagi dirinya tetapi tetap juga dia menikmatinya karena mengikuti hawa nafsu atau tradisi. Seorang moralis yang memandang sesuatu perbuatan tetapi dia sendiri ikut melakukannya dan bergelimang dengan kehinaan itu. Jenis ilmu yang hanya teoritis seperti ini tidak diridhai dalam Islam. Menggambarkan hal ini Rasulullah bersabda: “Dunia ini diperuntukkan bagi empat kelompok orang, yaitu:

  1. Seorang hamba yang diberi rezeki oleh Allah berupa harta dan ilmu yang dengan rezeki itu dia bertaqwa kepada Allah, menyambung silaturrahmi dan mengetahui bahwa disitu Allah mempunyai hak. Orang ini menempati posisi peringkat teratas.
  2. Seorang hamba yang diberi rezeki berupa ilmu, tetapi tidak diberi harta. Dia mempunyai niat yang benar dan berkata: “kalau aku diberi harta aku akan mengamalkan perbuatan si Fulan. Dengan niatnya itu dia mendapat pahala yang sama dengan yang pertama.
  3. Seorang haba yang diberiharta tetapi tidak diberi ilmu. Dia membelanjakan hartanya secara sembarangan dan tidk takut akan Tuhanya, tidak menyambung silaturrahmi dan tidak megetahui bahwa pada hartanya itu ada hak Allah. Orang seperti ini menempati posisi peringkat yang paling hina.
  4. Seorang hamba yang tidak diberi harta dan juga tidak diberi ilmu oleh Allah tetapi dia berkata: “Sekiranya aku diberi harta aku akan mengerjakan pekerjaan si Fulan. Dengan niatnya ini dia mendapatkan pahala yang sama dengan si Fulan.” (Hadits Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi, At-Targhib hadits nomor 20)

6. Menyebarkan ilmu

Menyebarkan ilmu adalah moralitas yag harus dimiliki oleh para ilmuwan/ulama, mereka berkewajiban agar ilmu tersebar dan bermanfaat bagi masyarakat. Ilmu yang disembunyikan tidak mendatangkan kebaikan, sama halnya dengan harta yang ditimbun.[22] Ketika Haji Wada’ diakhir khutbah Rasulullah SAW berpesan: “Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi). Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu dia menyembunyikannya, ada hari kiamat dia dibelenggu dengan belenggu dari apai neraka.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Al-Naihaqi dan Al-Hakim)

Kewajiban menyebarkan ilmu hanya dibatasi jika ilmu yang disebarkan itu akan menimbulkan akibat negatif bagi yang menerimanya atau akan mengakibatkan dampak negatif bagi orang lain atau jika disampaikan akan menimbulkan mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya.[23]

7. Hak Cipta dan Penerbit

Mengenai hak cipta dan penerbit digambarkan bahwa kehidupan para ilmuan tidak semudah kehidupan orang lain pada umumnya, karena menuntut kesungguhan yang khusus mlebihi orang lan, seorang ilmuwan pengarang memerlukan perpustakaan yang kaya dengan referensi penting dan juga memerlukan pembantu yang menolongnya untuk menukil, mengkliping dan sebaginya dan memerlukan pula orang yang mendapat menopang khidupa keluarganya. Tanpa semua itu tidak mungkin seorang pengarang akan menghasilkan suatu karya ilmiah yang berbobot. Di samping itu, jika suatu karya ilmiah telah diterbitkan kadang-kadang pengarang masih memerlukan lagi untuk mengadakan koreksi dan perbaikan-perbaikan, semua ini memerlukan tenaga dan biaya. Oleh karena itu, jika dia sebagai pemilik suatu karya ilmiah maka dialah yang berhak mendapatkan sesuatu berkenan dengan karya ilmiahnya. Tetapi perlu diingat dan dipertegas satu hal, bahwa jangan sampai penerbit dan pengarang mengeksploitasi para pembaca dengan menaikkan harga buku-buku dengan harga yang tidak seimbang dengan daya beli pembaca atau pendapatan yang diperoleh pembaca. Jika terjadi yang demikian maka hal itu tidak dibenarkan oleh syara’.

Dari uraian di atas dapat dilihat betapa pentingnya etika bagi pegembangan ilmu, untuk menjaga agar ilmu itu tidak menjadi penyebab bencana bagi kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan serta kehancuran di muka bumi. Kemudian sejauhana konsep-konsep etika yag dirumuskan oleh para ilmuan dalam bidangnya akan efektif untuk menangkal penyalahgunaan ilmu, mengingat konsep-konsepnya yang masih bertentangan antara satu dengan lainya sebagai lazimnya pertentangan diantara orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Orang-orang yang mengkuti hawa nafsu, semakin tinggi ilmu yang mereka dapat, semakin tinggi teknologi yang mereka kembangkan, semakin canggih persenjataan yang mereka miliki, semua itu hanya mereka tujukan untuk memuaskan hawa nafsu mereka, tanpa mempertimbangan dengan baik kewajiban mereka terhadap orang lain dan hak-hak orang lain.

Inilah yang terjadi dengan dunia kita sekarang, negara-negara yang disebut adikuasa berbuat yang mereka kehendaki terhadap negara-negara yang sedang berkembang, demi keuntungan dan kepentingan mereka walaupun dengan semboyan-semboyan demokrasi, hak asasi manusia, dan lain-lain. Memang dalam data sejarah hanya ilmuwan-ilmuwan kaum muslim yang membimbing para khalifah yang senantiasa menebarkan ilmu dan kemakmuran untuk manusia secara bersama-sama walaupun berbeda agama.

E. Kesimpulan

  1. Ilmu adalah netral menghasilkan manfaat atau mengakibatkan bencana tergantung di tangan yang menguasainya. Bagaimana dia nantinya menerapkanya di dalam kehidupan.
  2. Ilmu tanpa dilandasi etika yang benar akan mengakibatkan kerusakan bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
  3. Diperlukan adanya orang-orang yang mampu untuk menjaga berlakunya etika yang benar dalam pengembangan ilmu agar ilmu tersebut lebih bermanfaat nantinya baik didunia maupun di akhirat.
  4. Di dalam Islam etika pengembangan ilmu pengetahuan disandarkan kepada iman akan Allah Rabbul ‘Alamin Yang Maha Mengetahui.
  5. Etika yang baik akan memperoleh pahala dan etika yang jahat sebaliknya.